Kamis, 21 November 2013

KHUTBAH JUM'AT: KEBEBASAN MENURUT ISLAM

Khutbah Pertama


إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَ مِنْ سَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. قال لله I :
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا،
أَمّا بَعْدُ فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.


Banyak manusia yang hidup di dunia ini menginginkan kehidupan yang bebas dan tidak terkekang dengan berbagai aturan. Sampai-sampai karena kuatnya keinginan ini mereka tidak lagi mengindahkan norma-norma agama, sebab mereka menganggap agama hanya sebagai belenggu. faktanya, kebebasan tanpa batas mustahil terwujud di dunia ini. Karena perbuatan yang dilakukan oleh manusia sering dipengaruhi oleh dorongan hawa nafsu, sehingga ketika seseorang meninggalkan norma-norma agama otomatis dia akan terjerumus mengikuti aturan hawa nafsunya yang dikendalikan oleh setan, dan ini merupakan sumber malapetaka terbesar bagi dirinya. Karena hawa nafsu manusia selalu menggiring kepada keburukan dan kerusakan, sebagaimana firman Alloh I:(QS Yusuf:53)

إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu manusia, maka pasti binasalah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan (untuk) mereka (al-Qur’an) akan tetapi mereka berpaling dari peringatan tersebuat” (QS al-Mu’minuun:71).

وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa (nafsu)nya, dan (semua) urusannya menjadi buruk” (18:28).
Maka kebebasan hakiki yang mendatangkan kebahagiaan dan kesenangan hidup bagi manusia tidak mungkin dicapai dengan meninggalkan norma-norma agama, bahkan sebaliknya ini merupakan kesempitan hidup dan belenggu yang sebenarnya, sebagaimana yang terungkap dalam firman-Nya: (QS Thaaha:124)

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Sebaliknya, kebahagiaan hidup yang hakiki akan dirasakan oleh orang yang berkomitmen dengan agama-Nya dan tunduk kepada hukum-hukum syariat-Nya. (QS. an-Nahl:97).

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ


Alloh menjadikan kelapangan dada dan ketenangan jiwa dalam menerima syariat Islam merupakan ciri orang yang mendapat petunjuk dari-Nya, dan kesempitan serta terbelenggunya jiwa merupakan pertanda orang yang tersesat dari jalan-Nya.

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ..

“Barangsiapa yang Alloh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Alloh kesesatannya, niscaya Alloh menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. ...” (QS al-An’aam:125).
Maka melepaskan diri dari aturan-aturan Islam dengan dalih kebebasan berarti justru menjebloskan diri kedalam penjara hawa nafsu dan belenggu setan yang akan mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan berkepanjangan di dunia dan akhirat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengungkapkan hal ini dengan bahasa yang indah:

المحبوسُ مَنْ حُبِسَ قَلْبُه عن رَبِّهِ تعالى، والمأسورُ مَنْ أَسِرَه هواه

“Orang yang dipenjara adalah orang yang terpenjara (terhalangi) hatinya dari Rabb-nya (Alloh), dan orang yang tertawan adalah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya”
Kebutuhan manusia terhadap petunjuk Alloh dalam agama-Nya adalah seperti kebutuhan ikan terhadap air. Maka apakah mungkin dikatakan kebebasan hidup bagi ikan adalah jika terlepas dari air, padahal sudah diketahui bahwa tidak mungkin ikan akan hidup tanpa air?.
Landasan utama Islam adalah tauhid, yaitu pemurnian ibadah dan penghambaan diri kepada Alloh semata dan berpaling dari penghambaan diri kepada selain-Nya, adalah bukti terbesar yang menunjukkan adanya kebebasan yang hakiki dalam Islam.
orang yang benar-benar meyakini dan mengamalkan tauhid dalam hidupnya, maka dia akan terlepas dari semua belenggu penghambaan diri kepada makhluk yang tidak punya kemampuan untuk memberikan manfaat maupun bahaya kepada dirinya, untuk menuju kepada penghambaan diri kepada Alloh, yang ditangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dialah satu-satunya pencipta, pemberi rezki dan pengatur alam semesta ini.
Ini yang disampaikan oleh Rib’iy bin Amir  saat beliau diutus khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ke Persia. Rib’iy berkata kepada Panglima Persia Rustum:
ابْتَعَثْنَا الله لِنُخْرِجَ الناس مِنْ عِبادَةِ العِباد لِعِبادَةِ الله وحْدَه
“Kami (umat Islam) diutus Allah untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan sesama hamba untuk menghamba kepada Allah semata, dan dari kesempitan (belenggu) dunia kepada kelapangannya, serta dari kezhaliman (aturan) agama-agama (lain) kepada keadilan Islam”[ al-Bidayah wan nihayah]. ‘Ulama: hakekat kebebasan adalah:
كَوْنُ الإنسان عبدًا لله خَلْقًا و شُعُوْرًا و خُلُقًا
“keberadaan manusia sebagai hamba Allah baik dari sudut penciptaan, perasaan maupun akhlaq.”
بارك الله لي ولكم في القرآن والسنة، ونفعنا جميعا بما فيهما من الآيات والحكمة، إنه جواد كريم

Khutbah Kedua


الحمد  لله على إحْسانِه، والشُّكْرُ له على تَوْفِيْقِهِ و امْتِنَانِه، أشْهَد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لِشَأْنِهِ

و أشهد أن محمدا عبده و رسوله الدَّاعِيَ إلى رِضْوَانِه. اللهم صل و سلم على هذا النبي الكريم و على آله و أصحابه و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد.

Setiap manusia terlahir dengan kecenderungan untuk menghambakan diri dan tunduk kepada sesuatu, maka jika kecenderungan ini tidak diarahkan kepada penghambaaan diri kepada Alloh, maka setanlah yang akan menggiringnya menjadi hamba bagi hawa nafsunya.

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sembahannya dan Alloh menjadikannya tersesat berdasarkan ilmu-Nya, dan Alloh telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Alloh (membiarkannya sesat)?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran” (QS al-Jaatsiyah:23).
Nabi e bersabda:                     الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”[ Muslim].
Ibnul Qayyim “Badaai’ul fawaaid” (3/696) –, yaitu:
1-Dunia adalah tempat orang mu’min memenjarakan hawa nafsunya dari perbuatan yang haram, sedang orang kafir hidup bebas memperturutkan nafsu syahwatnya.
2- seorang mukmin walaupun ia orang yang paling nikmat hidupnya di dunia jika dibandingkan apa yang Allah janjikan baginya di surga, maka dunia itu seperti penjara. Dan orang kafir walaupun ketika di dunia adalah orang yang paling sengsara, itu jika dibandingkan dengan siksa neraka maka dunia itu merupakan surga baginya.

Ada orang mencela bahwa jilbab merupakan belenggu yang mengekang kebebasan kaum perempuan!, bagaimana nanti kalau ke sawah, apalagi kalau mau renang di kolam renang, masa, pakai jilbab?
Padahal Hikmah besar diwajibkannya jilbab bagi perempuan adalah justru untuk membebaskan dan menyelamatkan mereka dari gangguan dan kejahatan orang-orang yang mempunyai keinginan buruk,  [أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ] 
Kalau wanita tidak memakai jilbab, maka bisa disangka bukan wanita yang ‘afifah (terjaga kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu, menyakiti dan melecehkannya. Lihatlah dengan gadis-gadis SPG di mall & supermarket, mereka adalah sasaran gangguan dan pelecehan, karena dianggap wanita yang bukan afifah.
Inilah hakekat keindahan ajaran Islam yang diturunkan untuk kemaslahatan hidup manusia, sedangkan semua ajakan yang menyimpang dari ajaran Islam pada akhirnya akan menjerumuskan ke dalam lembah kesengsaraan dan penderitaan berkepanjangan di dunia dan akhirat. Semoga Alloh jadikan hati kita cinta kepada keimanan dan benci kepada kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus

الَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ و عل آله و صَحابَتِه و مَنِ اهْتَدَى بِهَدْيِهِ و اسْتَنَّ بِسُنَّتِه إلى يوم الدين. ثم اللهم ارْضَ عَنِ الخلفاء الراشدين المهديين و عَلَى بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ و التابعين و تابع التابعين و علينا معهم برحمتك ي أرحم الرحمين
 اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا، وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إنك سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.
اَللَّهُمَّ لاَ تَدَعْ لَنَا ذَنْبًا إِلاَّ غَفَرْتَهُ وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَ دَيْنًا إِلاَّ قَضَيْتَهُ وَلاَ حَاجَةً مِنْ حَوَائِجِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِيْ إِلَيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ.
اَللَّهُمَّ حَبَّبْ إِلَيْنَا اْلإِيْمَان ، وَزَيِّنْهُ فِي قُلُوْبِنَا ،وَكَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَان، وَاجْعَلْنَا مِنَ الَّراشِدِيْن.
اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُوْرِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الأَخِرَةِ. اللَّهُمَّ أَحْيِنَا مُؤْمِنِيْنَ طَائِعِيْنَ, وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَ تَائِبِيْنَ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ تسليما كثيرا, وأخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

BAHAYA AMBISI TERHADAP KEHORMATAN

Oleh: Ustadz Fariq Gasim Anuz

Ambisi terhadap kehormatan di dunia merupakan batu sandungan bagi setiap muslim dalam menggapai cita-citanya untuk mendapatkan ridha dan cinta Allah. Ketika ia lebih mengutamakan mencari popularitas, pengaruh, jabatan dan kedudukan dari ridha-Nya, ia akan berjalan menyimpang dari jalan Allah.
Diantara ciri orang yang berambisi untuk memperoleh kehormatan dari manusia:
1.      Gila hormat dan pujian serta anti terhadap kritikan
2.      Mudah berfatwa meskipun tanpa ilmu
3.      Suka menjilat dan berbuat nifak
4.      Suka memamerkan amal dan membanggakan keberhasilannya
5.      Mudah berbohong, menggunjing, memfitnah orang lain dan berbuat dzalim
6.      Menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan
7.      Sombong dan dengki
8.      Mengutamakan dunia dari akhirat

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya: "Kalian akan berambisi atas kekuasaan dan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat..." (Bukhari)

"Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang yang bodoh atau menandingi para ulama atau untuk mencari perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya kedalam api neraka".  ( Shahih Riwayat Tirmidzi)

Penyebab dari ambisi terhadap kehormatan adalah mengikuti hawa nafsu yang akan melahirkan cinta dunia. Solusinya adalah takwa, Allah berfirman yang artinya,

"Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)".(An-Nazi’aat: 37 – 41)

"Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa" ( Al-Qashash:83)

Imam Ibnu Rajab rahimahullah (Wafat tahun 795 H) berkata,
"Barangsiapa sibuk membina dirinya untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah dengan jalan mengenal Allah, takut , cinta kepadaNya, selalu merasa dalam pengawasanNya, tawakal, ridha dengan takdirNya, merasa tentram dan rindu kepadaNya, dia akan sampai kepadaNya. Dia tidak peduli dengan penilaian manusia. Meskipun demikian, Allah akan memberikan kedudukan yang tinggi di mata manusia dan mereka hormat kepadanya padahal dia sendiri tidak menginginkan hal tersebut, bahkan lari menjauhinya dan khawatir kalau kehormatan dunia ini bisa memutuskan jalannya menuju ridha Allah.

Allah berfirman yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Mahapemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang". (Maryam : 96)

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang artinya: "Sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba, Dia berfirman: “Wahai jibril Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia!” lalu Jibrilpun mencintainya. Lalu jibril berseru kepada penduduk langit: Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia!”, maka penduduk langitpun mencintainya. Kemudian dia di karuniai dengan diterimanya di muka bumi". ( Bukhari dan Muslim)

Kesimpulannya mencari kehormatan di akhirat akan mendapatkan kehormatan akhirat plus kehormatan di dunia, meskipun ia tidak menginginkan dan tidak mencarinya. Sedangkan mencari kehormatan dunia tidak akan bertemu dan tidak akan mungkin berkumpul dengan kehormatan akhirat. Orang yang bahagia adalah orang yang lebih mengutamakan akhirat yang kekal dibandingkan dunia yang fana".

Sumber: Kitab "Syarhun Wa Bayaanun li hadiitsi Maa Dzi'baani Jaa'iaani" oleh: Imam Ibnu Rajab rahimahullah.

Jeddah, 13 Muharram 1435 H

 

Selasa, 17 September 2013

Makna Fii Sabiilillah 

Tanya : Apa makna fii sabiilillah dalam QS. At-Taubah ayat 60 ? Lalu, bolehkah mengalokasikan zakat maal (harta) untuk pembangunan Rumah Sakit, jalan, masjid, pencetakan mushhaf, dan yang lainnya dari kepentingan dan maslahat kaum muslimin ?
Jawab : Allah ta’ala berfirman :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah (fii sabiilillah), dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan” [QS. At-Taubah : 60].
Terdapat perbedaan pendapat mengenai makna fii sabiilillah yang ternukil dari lisan ulama :
1.     Tentara/orang-orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah, tanpa ada makna lain.
Ini adalah pendapat Abu Hanifah[1], Maalik[2], Asy-Syaafi’iy[3], dan satu riwayat dari Ahmad yang dishahihkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni[4].
Mereka berdalil dengan dhahir nash fii sabiilillah di atas yang jika dimutlakkan, maka maknanya tidak lain adalah jihad. Hal itu seperti firman Allah ta’ala yang lain :
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [QS. Al-Baqarah : 90].
وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” [QS. Al-Baqarah : 154].
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” [QS. Ash-Shaff : 4].
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَسُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ، أَنَّهُمَا سَمِعَا النُّعْمَانَ بْنَ أَبِي عَيَّاشٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ، وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Nashr : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Yahyaa bin Sa’iid bin Suhail bin Abi Shaalih, bahwasannya keduanya mendengar An-Nu’maan bin Abi ‘Ayyaasy, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah (fii sabiilillah), niscaya Allah akan jauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh tahun perjalanan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2840].
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُبَارَكِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ، أَخْبَرَنَا عَبَايَةُ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو عَبْسٍ هُوَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ جَبْرٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَا اغْبَرَّتْ قَدَمَا عَبْدٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَتَمَسَّهُ النَّارُ "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Mubaarak : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin Abi Maryam : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abaayah bin Raafi’ bin Khudaij, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu ‘Abs ‘Abdurrahmaan bin Jabr : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah berdebu kedua kaki seorang hamba di jalan Allah (fii sabiilillah) kemudian akan disentuh oleh api neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2811].
Abu Bakr bin Al-‘Arabiy rahimahullah berkata :
قال مالك: سبل الله كثيرة ولكني لا أعلم خلافاً في أن المراد بسبيل الله ها هنا: الغزو
“Maalik (bin Anas) berkata : Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa yang dimaksud dengan fii sabiilillah dalam ayat ini (yaitu : QS. At-Taubah : 60) adalah peperangan” [Ahkaamul-Qur’aan, 2/533].
2.     Tentara/orang-orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah, dan haji.
Ini adalah pendapat Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani[5] dan Ahmad dalam satu riwayat yang menjadi pendapat mu’tamad dalam madzhabnya[6]. Begitu juga Al-Hasan (Al-Bashriy) dan Ishaaq (bin Rahawaih) sebagaimana dikatakan Ibnu Katsiir rahimahullah :
وأما في سبيل الله: فمنهم الغزاة الذين لا حق لهم في الديوان، وعند الإمام أحمد، والحسن، وإسحاق: والحج من سبيل الله، للحديث.
“Adapun makna fii sabiilillah, maka ia mencakup orang yang berperang namun tidak memperoleh bagian (gaji) dari negara. Menurut Al-Imaam Ahmad, Al-Hasan, dan Ishaaq bahwa haji termasuk fii sabiilillah dengan dasar hadits” [Tafsir Ibni Katsiir, 4/169].
Haji mereka masukkan dalam bagian fii sabiilillah berdasarkan dalil :
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ ابْنِ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ بْنِ ثَوْبَانَ، وَكَانَ ثِقَةً، عَنِ أَبِي لَاسٍ الْخُزَاعِيِّ، قَالَ: حَمَلَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِبِلٍ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ ضِعَافٍ إِلَى الْحَجِّ، قَالَ: فَقُلْنَا: لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذِهِ الْإِبِلَ ضِعَافٌ نَخْشَى أَنْ لَا تَحْمِلَنَا.قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا مِنْ بَعِيرٍ إِلَّا فِي ذُرْوَتِهِ شَيْطَانٌ، فَارْكَبُوهُنَّ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِنَّ كَمَا أُمِرْتُمْ، ثُمَّ امْتَهِنُوهُنَّ لِأَنْفُسِكُمْ فَإِنَّمَا يَحْمِلُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ "
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaaq : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ibraahiim bin Al-Haarits, dari ‘Umar bin Al-Hakam bin Tsaubaan – dan ia seorang yang tsiqah - , dari Abu Laas Al-Khuza’iy, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaikkan kami di atas onta dari onta-onta shadaqah (zakat) yang kurus untuk ibadah haji. Kami berkata : "Wahai Rasulullah, onta-onta ini kurus/lemah sehingga kami khawatir mereka tidak kuat membawa kami". Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Tidak ada satu onta pun melainkan di punuknya terdapat setan. Maka naikilah dan sebutlah nama Allah sebagaimana kalian diperintahkan. Kemudian pergunakanlah untuk diri kalian, karena yang mengendarakan kalian adalah Allah ‘azza wa jalla” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/221; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، وَحَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنْ عَامِرٍ الْأَحْوَلِ، عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: أَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَجَّ، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ لِزَوْجِهَا: أَحِجَّنِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَمَلِكَ، فَقَالَ: مَا عِنْدِي مَا أُحِجُّكِ عَلَيْهِ، قَالَتْ: أَحِجَّنِي عَلَى جَمَلِكَ فُلَانٍ، قَالَ: ذَاكَ حَبِيسٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَّلَ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ امْرَأَتِي تَقْرَأُ عَلَيْكَ السَّلَامَ وَرَحْمَةَ اللَّهِ وَإِنَّهَا سَأَلَتْنِي الْحَجَّ مَعَكَ، قَالَتْ: أَحِجَّنِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: مَا عِنْدِي مَا أُحِجُّكِ عَلَيْهِ، فَقَالَتْ: أَحِجَّنِي عَلَى جَمَلِكَ فُلَانٍ، فَقُلْتُ: ذَاكَ حَبِيسٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ: أَمَا إِنَّكَ لَوْ أَحْجَجْتَهَا عَلَيْهِ كَانَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَالَ: وَإِنَّهَا أَمَرَتْنِي أَنْ أَسْأَلَكَ مَا يَعْدِلُ حَجَّةً مَعَكَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَقْرِئْهَا السَّلَامَ وَرَحْمَةَ اللَّهِ وَبَرَكَاتِهِ وَأَخْبِرْهَا أَنَّهَا تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِي يَعْنِي عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Dan telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits, dari ‘Aamir Al-Ahwal, dari Bakr bin ‘Abdillah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak melaksanakan haji. Lalu berkatalah seorang wanita kepada suaminya : “Ajaklah aku haji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas ontamu”. Si suami berkata : “Aku tidak punya kendaraan yang dapat membawa berangkat haji”. Wanita itu berkata : “Berangkanlah aku haji dengan naik ontamu yang bernama ‘Fulaan’”. Si suami berkata : “Onta itu diwaqafkan di jalan Allah (fii sabiilillah) ‘azza wa jalla”. Lalu laki-laki tersebut (si suami) pergi mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata : “Sesungguhnya istriku menyampaikan salam dan rahmat kepadamu. Sesungguhnya ia memintaku untuk memberangkatkan haji bersamamu. Istriku berkata : ‘Ajaklah aku haji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Aku katakan : ‘Aku tidak punya kendaraan yang dapat membawa berangkat haji’. Ia berkata : ‘Berangkatkanlah aku haji dengan naik ontamu yang bernama ‘Fulaan’. Aku berkata : ‘Onta itu diwaqafkan di jalan Allah (fii sabiilillah) ‘azza wa jalla”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya seandainya engkau memberangkatkannya berhaji di atas onta tersebut, maka itu termasuk fii sabiilillah. Laki-laki itu berkata : “Sesungguhnya istriku memintaku agar bertanya kepada engkau, amalan apa yang dapat menyamai ibadah haji bersamamu ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku menjawab salamnya : Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Dan khabarkanlah kepadanya ‘umrah di bulan Ramadlan sama halnya berhaji bersamaku” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1990; shahih].
أَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْفَتْحِ الْعُمَرِيُّ الشَّرِيفُ الإِمَامُ، أنا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ أَبِي شُرَيْحٍ، ثنا أَبُو الْقَاسِمِ الْبَغَوِيُّ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، أنا شُعْبَةُ، عَنْ أَنَسِ بْنِ سِيرِينَ، قَالَ: أَوْصَى إِلِيَّ رَجُلٌ بِمَالِهِ أَنْ أَجْعَلَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَسَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ، فَقَالَ: " إِنَّ الْحَجَّ مِنْ سَبِيلِ اللَّهِ، فَاجْعَلْهُ فِيهِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Fath Al-‘Umariy Asy-Syariif Al-Imaam : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Muhammad bin Syuraih : Telah menceritakan kepada kami Abul-Qaasim Al-Baghawiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Ja’d : Telah memberitakan kepada kami Syu’bah, dari Anas bin Siiriin, ia berkata : Seorang laki-laki berwasiat hartanya kepadaku agar aku mengalokasikannya di jalan Allah (fii sabiilillah). Maka aku bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu ia menjawab : “Haji termasuk fii sabiilillah. Pergunakanlah ia padanya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 6/275; shahih].
Sangat jelas dalam riwayat-riwayat di atas bahwa zakat bisa dialokasikan pada orang-orang yang hendak melaksanakan haji yang tidak punya bekal, karena ia termasuk fii sabiilillah.
3.     Makna fii sabiilillah itu luas hingga meliputi pembangunan masjid, rumah sakit, sekolah, perbaikan jalan, dan yang lainnya.[7]
Dalil mereka adalah keumuman fii sabiilillah, yaitu semua jalan-jalan kebaikan.
Sebagian ulama menukilkan adanya ijmaa’ larangan mengalokasikan zakat pada amal-amal kebaikan secara umum.
Abu ‘Ubaid bin Sallaam rahimahullah berkata :
فَأَمَّا قَضَاءُ الدَّيْنِ عَنِ الْمَيِّتِ، وَالْعَطِيَّةُ فِي كَفَنِهِ، وَبُنْيَانُ الْمَسَاجِدِ، وَاحْتِفَاءُ الأَنْهَارِ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ الْبِرِّ، فَإِنَّ سُفْيَانَ، وَأَهْلَ الْعِرَاقِ، وَغَيْرَهُمْ مِنَ الْعُلَمَاءِ يُجْمِعُونَ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ لا يُجْزِي مِنْ زَكَاةٍ، لأَنَّهُ لَيْسَ مِنَ الأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ
“Adapun untuk membayar hutang mayit dan membelikan kain kafannya, pembangunan masjid-masjid, mengarahkan sungai-sungai, dan yang semisalnya dari macam-macam kebaikan; maka Sufyaan, penduduk ‘Iraaq, dan yang lainnya dari kalangan ulama telah bersepakat bahwa pengalokasian tersebut itu tidak dapat memenuhi kewajiban zakat karena bukan termasuk delapan golongan (yang disebutkan dalam QS. At-Taubah : 60)” [Al-Amwaal, hal. 723 no. 1981].
Akan tetapi ijmaa’ ini perlu ditinjau kembali karena telah shahih dari sebagian salaf yang membolehkan pengalokasian zakat pada amal-amal kebaikan secara umum.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، وَالْحَسَنِ، قَالا: " مَا أَعْطَيْتَ فِي الْجُسُورِ، وَالطُّرُقِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مَاضِيَةٌ "، قَالَ إِسْمَاعِيلُ: يَعْنِي أَنَّهَا تُجْزِي مِنَ الزَّكَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Shuhaib, dari Anas bin Maalik dan Al-Hasan (Al-Bashriy), mereka berdua berkata : “Apa saja yang telah aku berikan untuk (pembangunan) jembatan dan jalan-jalan, maka itu termasuk shadaqah yang telah berlalu (sah)”. Ismaa’iil berkata : “Maksudnya, hal itu mencukupi dalam penunaian zakat” [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Al-Amwaal no. 1821; shahih].
Mana yang raajih ?
Pendapat yang raajih adalah pendapat pertama dan kedua karena didukung dalil. Adapun pendapat ketiga, maka itu lemah. Seandainya fii sabiilillah itu dimaknai semua jalan kebaikan, maka tidak ada faedahnya QS. At-Taubah ayat 60 terdapat pembatasan (hasr) dengan penyebutan delapan golongan penerima zakat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengalokasikan harta zakat untuk pembangunan masjid, jalan, pasar, dan sejenisnya dari jalan-jalan kebaikan secara umum, padahal tidak ada halangan bagi beliau untuk melaksanakannya. Hal ini menandakan pengalokasian tersebut memang tidak disyariatkan. Selain bertentangan dengan nash, ijtihad Anas bin Maalik dan Al-Hasan tersebut juga bertentangan dengan pendapat mayoritas salaf.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 1111434/17092013 – 00:15].




[1]     Mukhtashar Ath-Thahawiy hal. 52, Al-Ikhtiyaar 1/119, dan Fathul-Qadiir 2/264.
[2]     Al-Kaafiy hal. 114 dan Bulghatus-Saalik 1/232.
[3]     Al-Haawiy Al-Kubraa 8/511 dan Al-Muhadzdzab 1/233.
[4]     Al-Mughniy 6/437 dan Al-Mubdi’ 2/424-424.
[5]     Al-Ikhtiyaar 1/119 dan Fathul-Qadiir 2/264.
[6]     Al-Mughniy 6/437 dan Al-Mubdi’ 2/424-425.
[7]     Al-Mughniy 2/667 dan Infaaquz-Zakaat fil-Mashaalihil-‘Aammah hal. 84.