Selasa, 17 September 2013

Makna Fii Sabiilillah 

Tanya : Apa makna fii sabiilillah dalam QS. At-Taubah ayat 60 ? Lalu, bolehkah mengalokasikan zakat maal (harta) untuk pembangunan Rumah Sakit, jalan, masjid, pencetakan mushhaf, dan yang lainnya dari kepentingan dan maslahat kaum muslimin ?
Jawab : Allah ta’ala berfirman :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah (fii sabiilillah), dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan” [QS. At-Taubah : 60].
Terdapat perbedaan pendapat mengenai makna fii sabiilillah yang ternukil dari lisan ulama :
1.     Tentara/orang-orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah, tanpa ada makna lain.
Ini adalah pendapat Abu Hanifah[1], Maalik[2], Asy-Syaafi’iy[3], dan satu riwayat dari Ahmad yang dishahihkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni[4].
Mereka berdalil dengan dhahir nash fii sabiilillah di atas yang jika dimutlakkan, maka maknanya tidak lain adalah jihad. Hal itu seperti firman Allah ta’ala yang lain :
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [QS. Al-Baqarah : 90].
وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” [QS. Al-Baqarah : 154].
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” [QS. Ash-Shaff : 4].
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَسُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ، أَنَّهُمَا سَمِعَا النُّعْمَانَ بْنَ أَبِي عَيَّاشٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ، وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Nashr : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Yahyaa bin Sa’iid bin Suhail bin Abi Shaalih, bahwasannya keduanya mendengar An-Nu’maan bin Abi ‘Ayyaasy, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah (fii sabiilillah), niscaya Allah akan jauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh tahun perjalanan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2840].
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُبَارَكِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ، أَخْبَرَنَا عَبَايَةُ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو عَبْسٍ هُوَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ جَبْرٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَا اغْبَرَّتْ قَدَمَا عَبْدٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَتَمَسَّهُ النَّارُ "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Mubaarak : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin Abi Maryam : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abaayah bin Raafi’ bin Khudaij, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu ‘Abs ‘Abdurrahmaan bin Jabr : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah berdebu kedua kaki seorang hamba di jalan Allah (fii sabiilillah) kemudian akan disentuh oleh api neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2811].
Abu Bakr bin Al-‘Arabiy rahimahullah berkata :
قال مالك: سبل الله كثيرة ولكني لا أعلم خلافاً في أن المراد بسبيل الله ها هنا: الغزو
“Maalik (bin Anas) berkata : Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa yang dimaksud dengan fii sabiilillah dalam ayat ini (yaitu : QS. At-Taubah : 60) adalah peperangan” [Ahkaamul-Qur’aan, 2/533].
2.     Tentara/orang-orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah, dan haji.
Ini adalah pendapat Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani[5] dan Ahmad dalam satu riwayat yang menjadi pendapat mu’tamad dalam madzhabnya[6]. Begitu juga Al-Hasan (Al-Bashriy) dan Ishaaq (bin Rahawaih) sebagaimana dikatakan Ibnu Katsiir rahimahullah :
وأما في سبيل الله: فمنهم الغزاة الذين لا حق لهم في الديوان، وعند الإمام أحمد، والحسن، وإسحاق: والحج من سبيل الله، للحديث.
“Adapun makna fii sabiilillah, maka ia mencakup orang yang berperang namun tidak memperoleh bagian (gaji) dari negara. Menurut Al-Imaam Ahmad, Al-Hasan, dan Ishaaq bahwa haji termasuk fii sabiilillah dengan dasar hadits” [Tafsir Ibni Katsiir, 4/169].
Haji mereka masukkan dalam bagian fii sabiilillah berdasarkan dalil :
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ ابْنِ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ بْنِ ثَوْبَانَ، وَكَانَ ثِقَةً، عَنِ أَبِي لَاسٍ الْخُزَاعِيِّ، قَالَ: حَمَلَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِبِلٍ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ ضِعَافٍ إِلَى الْحَجِّ، قَالَ: فَقُلْنَا: لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذِهِ الْإِبِلَ ضِعَافٌ نَخْشَى أَنْ لَا تَحْمِلَنَا.قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا مِنْ بَعِيرٍ إِلَّا فِي ذُرْوَتِهِ شَيْطَانٌ، فَارْكَبُوهُنَّ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِنَّ كَمَا أُمِرْتُمْ، ثُمَّ امْتَهِنُوهُنَّ لِأَنْفُسِكُمْ فَإِنَّمَا يَحْمِلُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ "
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaaq : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ibraahiim bin Al-Haarits, dari ‘Umar bin Al-Hakam bin Tsaubaan – dan ia seorang yang tsiqah - , dari Abu Laas Al-Khuza’iy, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaikkan kami di atas onta dari onta-onta shadaqah (zakat) yang kurus untuk ibadah haji. Kami berkata : "Wahai Rasulullah, onta-onta ini kurus/lemah sehingga kami khawatir mereka tidak kuat membawa kami". Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Tidak ada satu onta pun melainkan di punuknya terdapat setan. Maka naikilah dan sebutlah nama Allah sebagaimana kalian diperintahkan. Kemudian pergunakanlah untuk diri kalian, karena yang mengendarakan kalian adalah Allah ‘azza wa jalla” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/221; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، وَحَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنْ عَامِرٍ الْأَحْوَلِ، عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: أَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَجَّ، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ لِزَوْجِهَا: أَحِجَّنِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَمَلِكَ، فَقَالَ: مَا عِنْدِي مَا أُحِجُّكِ عَلَيْهِ، قَالَتْ: أَحِجَّنِي عَلَى جَمَلِكَ فُلَانٍ، قَالَ: ذَاكَ حَبِيسٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَّلَ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ امْرَأَتِي تَقْرَأُ عَلَيْكَ السَّلَامَ وَرَحْمَةَ اللَّهِ وَإِنَّهَا سَأَلَتْنِي الْحَجَّ مَعَكَ، قَالَتْ: أَحِجَّنِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: مَا عِنْدِي مَا أُحِجُّكِ عَلَيْهِ، فَقَالَتْ: أَحِجَّنِي عَلَى جَمَلِكَ فُلَانٍ، فَقُلْتُ: ذَاكَ حَبِيسٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ: أَمَا إِنَّكَ لَوْ أَحْجَجْتَهَا عَلَيْهِ كَانَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَالَ: وَإِنَّهَا أَمَرَتْنِي أَنْ أَسْأَلَكَ مَا يَعْدِلُ حَجَّةً مَعَكَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَقْرِئْهَا السَّلَامَ وَرَحْمَةَ اللَّهِ وَبَرَكَاتِهِ وَأَخْبِرْهَا أَنَّهَا تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِي يَعْنِي عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Dan telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits, dari ‘Aamir Al-Ahwal, dari Bakr bin ‘Abdillah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak melaksanakan haji. Lalu berkatalah seorang wanita kepada suaminya : “Ajaklah aku haji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas ontamu”. Si suami berkata : “Aku tidak punya kendaraan yang dapat membawa berangkat haji”. Wanita itu berkata : “Berangkanlah aku haji dengan naik ontamu yang bernama ‘Fulaan’”. Si suami berkata : “Onta itu diwaqafkan di jalan Allah (fii sabiilillah) ‘azza wa jalla”. Lalu laki-laki tersebut (si suami) pergi mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata : “Sesungguhnya istriku menyampaikan salam dan rahmat kepadamu. Sesungguhnya ia memintaku untuk memberangkatkan haji bersamamu. Istriku berkata : ‘Ajaklah aku haji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Aku katakan : ‘Aku tidak punya kendaraan yang dapat membawa berangkat haji’. Ia berkata : ‘Berangkatkanlah aku haji dengan naik ontamu yang bernama ‘Fulaan’. Aku berkata : ‘Onta itu diwaqafkan di jalan Allah (fii sabiilillah) ‘azza wa jalla”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya seandainya engkau memberangkatkannya berhaji di atas onta tersebut, maka itu termasuk fii sabiilillah. Laki-laki itu berkata : “Sesungguhnya istriku memintaku agar bertanya kepada engkau, amalan apa yang dapat menyamai ibadah haji bersamamu ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku menjawab salamnya : Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Dan khabarkanlah kepadanya ‘umrah di bulan Ramadlan sama halnya berhaji bersamaku” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1990; shahih].
أَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْفَتْحِ الْعُمَرِيُّ الشَّرِيفُ الإِمَامُ، أنا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ أَبِي شُرَيْحٍ، ثنا أَبُو الْقَاسِمِ الْبَغَوِيُّ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، أنا شُعْبَةُ، عَنْ أَنَسِ بْنِ سِيرِينَ، قَالَ: أَوْصَى إِلِيَّ رَجُلٌ بِمَالِهِ أَنْ أَجْعَلَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَسَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ، فَقَالَ: " إِنَّ الْحَجَّ مِنْ سَبِيلِ اللَّهِ، فَاجْعَلْهُ فِيهِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Fath Al-‘Umariy Asy-Syariif Al-Imaam : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Muhammad bin Syuraih : Telah menceritakan kepada kami Abul-Qaasim Al-Baghawiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Ja’d : Telah memberitakan kepada kami Syu’bah, dari Anas bin Siiriin, ia berkata : Seorang laki-laki berwasiat hartanya kepadaku agar aku mengalokasikannya di jalan Allah (fii sabiilillah). Maka aku bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu ia menjawab : “Haji termasuk fii sabiilillah. Pergunakanlah ia padanya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 6/275; shahih].
Sangat jelas dalam riwayat-riwayat di atas bahwa zakat bisa dialokasikan pada orang-orang yang hendak melaksanakan haji yang tidak punya bekal, karena ia termasuk fii sabiilillah.
3.     Makna fii sabiilillah itu luas hingga meliputi pembangunan masjid, rumah sakit, sekolah, perbaikan jalan, dan yang lainnya.[7]
Dalil mereka adalah keumuman fii sabiilillah, yaitu semua jalan-jalan kebaikan.
Sebagian ulama menukilkan adanya ijmaa’ larangan mengalokasikan zakat pada amal-amal kebaikan secara umum.
Abu ‘Ubaid bin Sallaam rahimahullah berkata :
فَأَمَّا قَضَاءُ الدَّيْنِ عَنِ الْمَيِّتِ، وَالْعَطِيَّةُ فِي كَفَنِهِ، وَبُنْيَانُ الْمَسَاجِدِ، وَاحْتِفَاءُ الأَنْهَارِ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ الْبِرِّ، فَإِنَّ سُفْيَانَ، وَأَهْلَ الْعِرَاقِ، وَغَيْرَهُمْ مِنَ الْعُلَمَاءِ يُجْمِعُونَ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ لا يُجْزِي مِنْ زَكَاةٍ، لأَنَّهُ لَيْسَ مِنَ الأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ
“Adapun untuk membayar hutang mayit dan membelikan kain kafannya, pembangunan masjid-masjid, mengarahkan sungai-sungai, dan yang semisalnya dari macam-macam kebaikan; maka Sufyaan, penduduk ‘Iraaq, dan yang lainnya dari kalangan ulama telah bersepakat bahwa pengalokasian tersebut itu tidak dapat memenuhi kewajiban zakat karena bukan termasuk delapan golongan (yang disebutkan dalam QS. At-Taubah : 60)” [Al-Amwaal, hal. 723 no. 1981].
Akan tetapi ijmaa’ ini perlu ditinjau kembali karena telah shahih dari sebagian salaf yang membolehkan pengalokasian zakat pada amal-amal kebaikan secara umum.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، وَالْحَسَنِ، قَالا: " مَا أَعْطَيْتَ فِي الْجُسُورِ، وَالطُّرُقِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مَاضِيَةٌ "، قَالَ إِسْمَاعِيلُ: يَعْنِي أَنَّهَا تُجْزِي مِنَ الزَّكَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Shuhaib, dari Anas bin Maalik dan Al-Hasan (Al-Bashriy), mereka berdua berkata : “Apa saja yang telah aku berikan untuk (pembangunan) jembatan dan jalan-jalan, maka itu termasuk shadaqah yang telah berlalu (sah)”. Ismaa’iil berkata : “Maksudnya, hal itu mencukupi dalam penunaian zakat” [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Al-Amwaal no. 1821; shahih].
Mana yang raajih ?
Pendapat yang raajih adalah pendapat pertama dan kedua karena didukung dalil. Adapun pendapat ketiga, maka itu lemah. Seandainya fii sabiilillah itu dimaknai semua jalan kebaikan, maka tidak ada faedahnya QS. At-Taubah ayat 60 terdapat pembatasan (hasr) dengan penyebutan delapan golongan penerima zakat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengalokasikan harta zakat untuk pembangunan masjid, jalan, pasar, dan sejenisnya dari jalan-jalan kebaikan secara umum, padahal tidak ada halangan bagi beliau untuk melaksanakannya. Hal ini menandakan pengalokasian tersebut memang tidak disyariatkan. Selain bertentangan dengan nash, ijtihad Anas bin Maalik dan Al-Hasan tersebut juga bertentangan dengan pendapat mayoritas salaf.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 1111434/17092013 – 00:15].




[1]     Mukhtashar Ath-Thahawiy hal. 52, Al-Ikhtiyaar 1/119, dan Fathul-Qadiir 2/264.
[2]     Al-Kaafiy hal. 114 dan Bulghatus-Saalik 1/232.
[3]     Al-Haawiy Al-Kubraa 8/511 dan Al-Muhadzdzab 1/233.
[4]     Al-Mughniy 6/437 dan Al-Mubdi’ 2/424-424.
[5]     Al-Ikhtiyaar 1/119 dan Fathul-Qadiir 2/264.
[6]     Al-Mughniy 6/437 dan Al-Mubdi’ 2/424-425.
[7]     Al-Mughniy 2/667 dan Infaaquz-Zakaat fil-Mashaalihil-‘Aammah hal. 84.