Rabu, 22 April 2009

Qashar Shalat dalam Perjalanan

Qashar Shalat dalam Perjalanan

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam

Qashar di sini berlaku untuk shalat-shalat empat rakaat, yaitu Zhuhur, Ashar dan Isya. Dinukil dari Ibnul Mundzir adanya ijma’, bahwa tidak ada qashar dalam shalat Maghrib dan Shubuh. Tidak ada sebab untuk qashar ini kecuali perjalanan, karena ini merupakan rukhshah yang ditetapkan sebagai rahmat bagi musafir dan adanya kesulitan yang dialaminya. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhum, dia berkata, aku menyertai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak melebihkan shalat dalam perjalanan dari dua rakaat, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar, Umar dan Utsman.

MAKNA HADITS

Abdullah bin Umar Radhiyallaahu ‘anhum menuturkan bahwa dia pernah menyertai Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalan beliau, dia juga pernah menyertai Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam perjalanan mereka. Ternyata masing-masing di antara mereka senantiasa mengqashar shalat empat rakaat menjadi dua rakaat dan tidak lebih dari dua rakaat itu.

MAKNA HADITS

Abdullah bin Umar Radhiyallaahu ‘anhum menuturkan bahwa dia pernah menyertai Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalan beliau, dia juga pernah menyertai Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam perjalanan mereka. Ternyata masing-masing di antara mereka senantiasa mengqashar shalat empat rakaat menjadi dua rakaat dan tidak lebih dari dua rakaat itu.

PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN ULAMA

Para ulama saling berbeda pendapat tentang qashar, apakah itu wajib ataukah rukhshah yang disunnatkan pelaksanaannya?

Tiga Imam, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad membolehkan penyempurnaan shalat, namun yang lebih baik adalah mengqasharnya. Sedangkan Abu Hanifah mewajibkan qashar, yang juga didukung Ibnu Hazm. Dia berkata, fardhunya musafir ialah shalat dua rakaat.

Dalil orang yang mewajibkan qashar ialah tindakan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa mengqashar dalam perjalanan. Hal ini dapat ditanggapi bahwa perbuatan tidak menunjukkan kewajiban. Begitulah pendapat jumhur. Mereka juga berhujjah (berdalil) dengan hadits ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anha di dalam ash-shahihaian (Shahih Bukhari dan Muslim), shalat diwajibakan dua rakaat, lalu ditetapkan shalat dalam perjalanan dan shalat orang yang menetap disempurnakan. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Awal diwajibkannya shalat adalah dua rakaat, lalu ditetapkanlah hal itu untuk shalat di waktu safar dan disempurnakan shalat di waktu mukim”, dalam riwayat lain “dan ditambahi untuk shalat di waktu mukim”. (Shahih Bukhari, Kitab Taqshir Shalat, Bab : Meringkas Apabila Kaluar dari Tempat Tinggalnya, Hadits No. 1090. Muslim : Kitab Shalat Musafirin wa Qashriha. Bab : Shalat Para Musafir dan Peringkasannya, Hadits No. 685).

Hujjah (dalil) ini dapat ditanggapi dengan beberapa jawaban. Yang paling baik ialah, ini merupakan perkataan ‘Aisyah yang tidak dimarfu’kan (sampai) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara ‘Aisyah juga tidak mengikuti masa difardhulkannya shalat.

Adapun dalil-dalil jumhur tentang tidak wajibnya qashar ialah firman Allah :

“Artinya : Maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat kalian. (QS an-Nisa 101).

Penafian (penolakan) kesalahan di dalam ayat ini menunjukkan bahwa qashar itu merupakan rukhshah dan bukan sesuatu yang dipastikan. Di samping itu, dasarnya adalah penyempurnaannya. Adanya qashar karena dirasa shalat itu terlalu panjang. Dalil lainnya adalah hadits ‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengqqashar dalam perjalanan dan menyempurnakannya, pernah puasa dan tidak puasa (Diriwayatkan Ad-Daruquthni, yang menurutnya, ini hadits Hasan).

Dalil-dalil jumhur dapat ditanggapi sebagai berikut : Ayat ini disebutkan tentang qashar sifat dalam shalat khauf dan hadits tentang hal ini dipermasalahkan. Sampai-sampai Ibnu Taimiyah berkata : Ini merupakan hadits yang didustakan terhadap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Saya katakan, sebaiknya musafir tidak meninggalkan qashar, karena mengikuti Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai cara untuk keluar dari perbedaan pendapat dengan orang yang mewajibkannya, dan memang qashar inilah yang lebih baik menurut mayoritas ulama.

Dikutip dari Ibnu Taimiyah di dalam al-Ikhtiyaarat, tentang kemakruhan menyempurnakannya. Dia menyebutkan nukilan dari Imam Ahmad, yang tidak mengomentari sahnya shalat orang yang menyempurnakan shalat dalam perjalanan. Ibnu Taimiyah juga berkata : Telah diketahui secara mutawatir, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa shalat dua rakaat dalam perjalanan, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar dan Umar setelah beliau. Hal ini menunjukkan bahwa dua rakaat adalah lebih baik. Begitulah pendapat mayoritas ulama.

KESIMPULAN HADITS

  1. Pensyaratan qashar shalat empat rakaat dalam perjalanan menjadi dua rakaat saja.
  2. Qashar merupakan sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidun dalam perjalanan mereka.
  3. Qashar bersifat umum dalam perjalanan haji, jihad dan segala perjalanan untuk ketaatan. Para ulama juga memasukkan perjalanan yang mubah. Menurut An-Nawawy, jumhur berpendapat bahwa dalam semua perjalanan yang mubah boleh dilakukan qashar. Sebagian ulama tidak membolehkan qashar dalam perjalanan kedurhakaan. Yang benar, rukhshah ini bersifat umum dan sama untuk semua orang.
  4. Kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya dan keluwesan syariat ini, yang memberi kemudahan dalam beribadah kepada makhluk. Karena perjalanan lebih sering mendatangkan kesulitan, maka dibuat keringanan untuk sebagian shalat, dengan mengurangi bilangan rakaat shalat. Jika tingkat kesulitan semakin tinggi seperti karena memerangi musuh, maka sebagian shalat juga diringankan.
  5. Perjalanan di dalam hadits ini tidak terbatas, tidak dibatasi dengan jarak jauh. Yang lebih baik ialah dibiarkan menurut kemutlakannya, lalu rukhshah diberikan kepada apapun yang disebut perjalanan. Pembatasanya dengan tempo tertentu atau jarak farsakh tertetntu, tidak pernah disebutkan di dalam nash. Syaihul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Perjalanan tidak pernah dibatasi oleh syariat, tidak ada pembatasan menurut bahasa. Hal ini dikembalikan kepada tradisi manusia. Apa yang mereka sebut dengan perjalanan, maka itulah perjalanan.

[Disalin dari kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar